Kata orang, Kalimantan adalah pulau seribu sungai. Dan memang benar, di Pulau Borneo ini, beberapa sungai besar mengalir mengikis kulit bumi, dari hulu hingga ke hilir. Sebut saja misalnya, Sungai Barito di Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Sungai Mahakam di Kalimantan Timur (Kaltim). Suatu ketika, saya mendapat kesempatan melakukan ekspedisi di Pulau yang wilayahnya hingga saat ini dimiliki oleh tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam ini.
Di Pulau Jawa, ketika orang berbincang tentang transportasi, maka kemungkinan besar imaji mereka akan terfokus pada transportasi darat seperti mobil dan kereta api. Atau di Pulau Sumatera, ketika orang berbicara tentang transportasi, yang tergambar mungkin adalah angkutan darat. Dan bagi penduduk di kedua Pulau, transportasi air adalah barang yang langka. Tentunya dengan beberapa pengecualian, seperti misalnya bagi penduduk yang berdiam di tepi sungai Sungai Musi di Kota Palembang.
Di Kalimantan, tampaknya sungai menjadi semacam urat nadi yang tak mungkin dipisahkan dari kehidupan masyarkat. Selain sebagai sarana transportasi air, tidak sedikit perkampungan di Kalimantan yang penduduknya menggantungkan diri dari keberadaan sungai dengan berprofesi sebagai nelayan.
Sungai Mahakam menjadi penghubung kota-kota di pesisir dengan kota kecil dan kampung-kampung di pedalaman. Sungai Mahakam yang berhulu di bagian Barat Laut Kaltim tersebut, menjadi ‘jalur emas’ yang perannya tak terkira dalam kehidupan penduduk di sepanjang pantainya (orang yang tinggal di sepanjang tepi Sungai Mahakam, selalu menyebut Pantai Mahakam untuk daerah mereka).
Aneka macam alat transportasi sungai yang ada di Kaltim. Untuk transportasi jarak jauh, katakanlah dari Kota Samarinda menuju ke arah hulu, misalnya ke kota Muara Lawa, maka orang biasanya memakai Bus Air. Kota Muara Lawa sendiri adalah ibukota kecamatan Muara Pahu. Kota kecil yang tidak dialiri lagi oleh Sungai Mahakam, tetapi terbelah oleh sungai Kedang Pahu, yang merupakan anak Sungai Mahakam.
Selain mengangkut penumpang, Bus Air biasanya juga menjadi alat angkutan untuk pelbagai keperluan penduduk. Sembako, alat-alat elektronik, dan bahan bakar minyak (BBM) adalah barang-barang yang sangat lazim ditemukan di atas kapal yang hendak menghulu ke arah pedalaman. Sementara dari arah hulu ke hilir, rotan, pelbagai jenis kerajinan tangan, dan ikan air tawar yang sudah diasinkan, bisanya menjadi komoditas yang diangkut dalam Bus Air.
Menaiki Bus Air bagi orang yang bukan asli Kalimantan, mungkin merupakan sebuah pengalaman menarik yang menawarkan berjuta kenangan. Kondisi alam tropis di Kalimantan yang masih hijau; sepanjang jalan mata kita memandang sungai dan pepohonan tropis; bahkan kalau beruntung mungkin akan melihat ikan pesut yang meloncat keluar dari dalam air, atau monyet-monyet yang bergelantungan di pohon-pohon di tepi sungai. Sesekali Bus Air berhenti di perkampungan tepi sungai orang Dayak. Menurunkan satu atau beberapa orang penumpang atau muatan. Dan kemudian kembali berjalan lagi. Para penumpang sendiri, biasanya melakukan pelbagai aktivitas di atas Bus Air untuk membunuh waktu. Mulai dari ngobrol dengan para penumpang yang lain, bersantap di kantin kapal, nonton televisi, dan berkaraoke. Meski tampaknya, aktivitas berkaraoke tidak dapat dinikmati maksimal karena deru mesin kapal yang cukup memekakkan.
Karena waktu tempuh dari dan ke pedalaman cukup lama, misalnya saja dari Kota kecil Muara Lawa di tepi Sungai Kedang Pahu hingga sampai di Samarinda, dengan ongkos 100 ribu rupiah per orang, sebuah Bus Air membutuhkan waktu menghilir selama kurang lebih 17 jam. Dan waktu yang lebih banyak dibutuhkan untuk arah sebaliknya. Untuk mencapai Muara Lawa dari Samarinda, dibutuhkan waktu kurang lebih 20 jam. Selai karena gerakan Bus Air yang melawan arus sungai, juga karena aktivitas bongkar barang di beberapa kota yang dilalui.
Selain Bus Air, speed boat, menjadi salah satu alat transportasi yang lazim digunakan pada sepanjang Pantai Mahakam dan anak-anak sungai yang bermuara di Mahakam. Tetapi biasanya speed boat dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendesak. Hal ini disebabkan ongkos speed boat yang mahal. Sebagai contoh, suatu ketika tim kami menyewa speed boat dari Kota Bangun yang terletak di Pantai Mahakam menuju Desa Dasaq yang terletak di tepi Sungai Kedang Pahu. Speed boat dengan kekuatan 85 PK (PK: tenaga kuda. 85 PK kira-kira setara dengan sepersepuluh kekuatan mobil balap Ferrari 248 F1 10 silinder yang dipakai Schummy pada balapan musim 2005) itu kami sewa dengan ongkos 1,2 juta rupiah untuk waktu tempuh 6 jam. Pada waktu itu kondisi sungai sedang tak normal. Dari kenampakan langit di atas hulu sungai, dapat diperkirakan bahwa di hulu sedang turun hujan lebat. Akibatnya sepanjang perjalanan, terlihat batang-batang pohon yang hanyut terbawa oleh arus sungai, pertanda bahwa permukaan sungai sedang naik. Keberadaan potongan-potongan kayu ini, membuat pengemudi speed boat sangat berhati-hati. Karena sekali salah ambil jalur, tak ayal speed boat yang dikemudikannya bakal menabrak gelondongan.
Alat transportasi lain adalah ces. Ces adalah kapal motor tempel. Ces terbuat dari kayu dengan panjang bervariasi, sekitar 6 sampai 12 meter. Dan lebar biasanya sekitar 1 meter. Pada bagian belakang ces dipasang mesin tempel yang bisa dipasang-bongkar. Mesin tempel ini bervariasi juga kekuatannya, umumnya mulai dari 5 hingga 10 PK. Ces menjadi kenderaan sehari-hari para penduduk yang berdiam di tepi sungai. Para penuduk biasanya memaki ces untuk aktivitas bepergian ke ladang-ladang mereka. Badan ces yang ramping menyebabkan ia dapat dengan mudah menyusuri sungai-sungai kecil. Bahkan ces juga sering dipakai oleh penduduk untuk memasuki rawa-rawa. Selain ke ladang, ces juga biasanya dipakai untuk aktivitas memancing, menjala dan menangguk ikan di sungai dan rawa. Long boat adalah varian lain dari ces dengan badan yang lebih panjang dan kekuatan mesin yang lebih besar.
Selain itu, masih ada perahu tradisional dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih ceper.. Perahu ini biasanya mengarungi sungai-sungai dengan dayung sebagai sumber energinya. Biasanya hanya ditumpangi oleh dua orang, di depan dan di belakang, dengan masing-masing orang memegang dayung. Kalau ces dan long boatterbuat dari sambungan papan dan aneka bentuk kayu lainnya sehingga dibutuhkan lem disela-sela sambungan kayu, maka perahu biasanya dibuat dari kayu utuh yang dilobangi sedemikian rupa, jadi tanpa sambungan.
Jenis lain adalah ponton. Tetapi ponton ini biasanya secara spesifik digunakan untuk mengangkut kayu dan barang-barang tambang seperti batubara dan konsentrat lainnya. Atau juga digunakan untuk mengangkut alat-alat berat seperti traktor untuk kebutuhan perusahan kayu dan tambang dari kota ke pedalaman
Dalam menjalani kesehariannya yang akrab dengan sungai dan alat transportasi air, maka para penduduk mengembangkan strategi dalam kehidupan mereka. Karena topografi Kalimantan umumnya adalah datar sampai hampir datar (flat – almost flat), maka pola penyaluran yang berkembang adalah pola penyaluran yang sudah berstadia dewasa – tua. Hal ini ditandai dengan sungai-sungainya sudah membentuk mender-meander (kelokan-kelokan sungai yang melebihi setengah lamda grafik sinusoidal), pada kelokan-kelokan sungai biasanya penduduk membuat terusan-terusan. Terusan ini memperpendek jarak yang ditempuh, karena ces-ces mereka tidak perlu berputar mengikuti kelokan-kelokan sungai, tetapi cukup mengambil jalan potong berupa terusan artifisial yang memotong di leher kelokan. Strategi ini dapat memperpendek jarak yang harus ditempuh sepanjang berpuluh-puluh kilometer.
Sumber :https://lafadl.wordpress.com/2006/08/25/angkutan-sungai-di-kalimantan-timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar